BAB
I
PENDAHULUAN
Berbicara tentang Teologi merupakan
hal yang menarik sekaligus sulit, di
samping
karena perkembangannya yang sangat dinamis Teologia juga berhubungan dengan
Allah yang tidak terbatas sedangkan manusia sangat terbatas. Namun, ada
beberapa defenisi dari para ahli untuk menolong mengerti tentang Teologia.
Secara
etimilogi, istilah “Teologia” berasal bahasa Yunani yaitu: “Theos” (Allah) dan “Logos” (kata, pemikiran, uraian, ilmu). Daniel Lucas Lukito menjelaskan Teologia
sebagai pembicaraan secara rasional tentang Allah dan pekerjaanNya, hal ini
merupakan hasil dari Alkitab sebagai titik tolak penemuan.[1] Sedikit berbeda dengan Pdt. Stevri Lumintang
yang menjelaskan istilah Teologia secara praktis dan juga teoritis. Pengertian
secara praktis yaitu pengertian yang tidak hanya dalam batas pemahaman kognitif
mengenai Allah melainkan juga penghayatan afektif dan pengalaman psikomotoris
dari dan bersama Allah. Sedangkan pengertian teoritis mengartikan Teologia adalah suatu aktivitas
iman orang percaya mempelajari Alkitab dengan maksud untuk mengalami kemurahan
Allah, yang memungkinkannya dapat mengenal pribadi dan karyaNya dalam
hubungannya dengan semua ciptaannya, khususnya manusia, dengan harapan terjadi
perjumpaan dan persekutuan denganNya yang menghasilkan perubahan world view dan kemajuan ke arah
kedewasaan, sehingga dapat berespon secara bertanggungjawab terhadap
panggilanNya, menjadi alat misiNya di dunia demi kehendakNya terlaksana bagi
kemuliaanNya saja”.[2]
Maka
berdasarkan defenisi tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa Teologia erat
dengan aktivitas dan usaha iman manusia. Berkaitan dengan hal ini maka tidak
dapat dipungkiri Teologia akan dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran,
aliran-aliran ataupun filsafat yang berkembang pada zamannya.
Demikian
pula dengan Teologia Kontemporer dipengaruhi oleh Filsafat yang berkembang pada
zaman itu. Teologia Kontemporer memiliki ciri khas yaitu: menyelidiki segala
yang dapat diselidiki hanya untuk suatu pengetahuan; semua Teologia Kontemporer
adalah Teologia Historis-Kritis yang memandang Alkitab sebagai dokumen sejarah
kuno yang harus dinilai dan dikritik; Teologia Kontemporer tidak berdasarkan
Alkitab dan merupakan bidat.[3] Teologia Kontemporer lahir di tengah pengaruh
filsafat yang menganggap manusia sebagai ukuran atau kaidah segala sesuatu.[4]
Salah satu yang termasuk dalam Teologia Kontemporer yang muncul pada sekitar
abad Renaissance adalah Teologia Pengharapan (Theology of Hope) yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.
BAB
II
ISI
Pada
bagian ini, penulis akan memaparkan tentang Teologia Pengharapan yang mencakup
pengertian/defenisi, hakekat pengajarannya dan juga tanggapan kritis penulis
tentang pandangannya yang akan disorot secara alkitabiah.
A.
Defenisi Teologia Pengharapan
Teologia Pengharapan adalah Teologi
Pengharapan disebut juga sebagai teologi masa depan,[5]
teologi yang membahas tentang masa yang akan datang. Paul Enns dalam bukunya menggolongkan Teologia
Pengharapan sebagai Teologia sosialis dimana menekankan apa yang dipandang
sebagai revolusionari aspek-aspek sosial dari iman Kristen.[6]
Teologia Pengharapan muncul di tengah panas-panasnya
gerakan “Allah mati” pada tahun 1965 yang memberikan ketakutan akan munculnya
atheisme Kristen. Di Jerman Jurgen Muoltman, seorang professor muda Teologia
dari Universitas Tubinegn melahirkan buku “Theology of Hope” yang menjadi cikal
bakal goncangan dunia akan Teologia pengharapan.[7] Pemikirannya dipengaruhi oleh filsuf Erns Bloch seorang
pemikir marxistis Yahudi. [8]Teologi pengharapan juga sering disebut tentang Futurology karena lebih menekankan
tentang masa yang akan datang daripada masa lampau atau masa kini.[9]
Masa lampau dan
masa kini akan berarti jika ada masa depan, namun pada kenyataannya tidak
karena orientasinya lebih ke masa depan. Dalam hal ini ada beberapa teolog lain
dari Jerman yang membahas tentang masalah ini yaitu: Wolfhart Panenberg, dan
Johannes Metz.
B.
Hakikat Pengajaran
Teologia
Pengharapan memberikan penekanan tentang masa depan, masa depan yang dimaksud
adalah lebih kepada eskatologi. Berikut penjelasan tentang hakikat
pengajarannya, namun dalam menanggapi eskatologi tersebut ada beberapa
pandangan yang berbeda yang bermunculan, tetapi penulis lebih menyoroti
panndangan yang lebih dominan yaitu pandangan dan tanggapan dari Jurgen Moltman
kemudian dibandingkan dengan pandangan Walfart Pannenberg yang merupakan teolog
Jerman. Berikut pemaparannya!
1. Jurgen Moltmann
Pemikiran- pemikiran Moltmann ini sedikit banyak
dipengaruhi oleh seorang filsuf yang bernama Ernst Bloch. Hakekat atau pengajaran Teologi pengharapan adalah
sebagai berikut:
a. Allah
Bagi
Moltmann, Allah yang berada di muka manusia, Allah dari Keluaran (=Exodus) yang
membebaskan manusia dari kuasa-kuasa di dunia, Allah sejarah, Allah yang
membangkitkan dari kematian, Allah Israel dan para nabi, Allah yang mengajar
manusia untuk berharap.[10]
Bukan hanya itu saja. Moltmann lebih menekankan immanensi Allah sehingga
menganggap Allah sama saja dengan sejarah. Allah tetap Allah yang berada pada
diriNya, Ia adalah Allah dan Tuhan sejarah, dan sebagai Allah dan Tuhan
sejarah, dan sebagai Allah dan Tuhan sejarah Ia tidak sama dan tidak boleh
disamakan dengan perubahan-perubahan yang berlangsung di antara bangsa-bangsa
dan kebudayaan-kebudayaan.[11]
Allah tunduk pada proses waktu, Allah tidak sepenuhnya Allah
karena Allah bagian dari waktu yang sedang didorong maju ke masa yang akan
datang. Dengan kata lain, Allah Alkitab yang hakiki adalah Allah yang
menyatakan siapa Dia di masa yang akan datang. Allah hanya hadir dalam
janjinya, Allah tidaklah absolut. Allah membuat janji-janji tentang masa yang
akan datang dan Allah ditentukan oleh masa depan. Dia akan disebut sebagai
Allah jika Dia menepati semua janji-janji-Nya.[12]
b. Eskatologi
Menurut
Moltmann, seluruh teologia Kekristenan harus dicetak dan dibentuk oleh eskatologi, yaitu keterbukaan pada masa
yang akan datang, kebebasan masa yang akan datang. Allah maupun manusia tidak dapat membatasi kedatangan
masa depan ini.[13] Dengan kata lain, eskatologi merupakan karakteristik
semua ikrar Kekristenan dari setiap eksistensi Kekristenan.[14]
c. Kebangkitan Kristus
Bagi
Moltmann, pertanyaan atau penyelidikan historitas kebangkitan tubuh Kristus
tidaklah absah. Karena kebangkitan akhir merupakan dasar kebangkitan Yesus.[15]
Kebangkitan Kristus merupakan janji dari Allah dalam Perjanjian Baru maupun
Perjanjian Lama. Misteri tentang Yesus adalah kemudian tentang kebangkitan-Nya
yang satu kekal, asli, benar, dan bersifat tetap sebagai pribadi Illahi.
Keillahian Tuhan terlihat dari ketetapan-Nya, ketidak berubahan-Nya, ketidak
mustahilan-Nya, kesatuan-Nya. Dan sejarah pekerjaan Allah dalam Kristus di kayu
salib dan kebangkitan-Nya menjadi mungkin untuk menegaskan janji eskatologi-Nya
untuk masa depan.[16]
Singkatnya, Moltmann masih melihat Yesus sebagai Tuhan zaman Perjanjian Lama
yang harus membuktikan pada kedatangan-Nya. Kubur kosong yang ada hanya
untuk memberikan pelajaran kepada kita
supaya kita melihat ke depan.
d. Peran Sosial
Peran
sosial yang dimaksudkan adalah tugas gereja, yaitu mengkhotbahkan dengan cara
menanamkan pikiran bahwa masa kini, masa yang akan datang menggenggam
individual dan mengarahkannya ke dalam tindakan tertentu untuk membentuk masa
yang akan datang. Bukan hanya itu saja, tapi juga berperan aktif serta dalam
masyarakat untuk menghasilkan perubahan-perubahan, gereja-gerja suku, kelas
sosial, status, dan nasional harus dihapuskan.[17]
2. Walfart
Pannenberg
Pannenberg
juga sering disebut sebagai penganut Teologia Pengharapan dimana memanndang
tetang masa depan, namun penekanan pemikirannya berbeda dengan Moltmann. Jika
Moltmann lebih dikenal dengan Teolog Masa Depan (futurulogi), maka Pannenberg lebih dikenal sebagai Teolog Sejarah. Mengapa
demikian? Untuk lebih dapat mengerti tentang Kristologi, Pannenberg, melihat
sejarah sebagai kunci untuk wahyu Allah. Dengan kata lain, semua sejarah adalah
wahyu Allah. Baginya, Kristologi adalah hasil sejarah dan bukan hasil dari
penyelidikan sejarah. Wahyu yang dimaksudkan terlihat sebagai kedatangan bukan
secara langsung dari Tuhan, tapi secara tidak langsung melalui sejarah.[18]
Menurut Pannenberg
wahyu Allah tidak datang kepada manusia secara serta merta, tetapi selalu
dengan tidak serta merta, yaitu melalui dengan kejadian-kejadian sejarah. Dan
melalui sejarah wahyu mengambil tempat bukanlah suatu wahyu penyelamatan yang
khusus yang hanya dikenal melalui iman. Pannenberg menolak untuk memisahkan
antara sejarah penyelamatan dengan sejarah dunia, Pannenberg berpendapat tidak
ada wahyu langsung wahyu khusus dari Allah, tetapi hanya ada wahyu tidak
langsung melalui perbuatan-perbuatan historis, misalnya kebangkitan Yesus.
Bagi
dia, kelahiran Yesus tidak penting, namun yang penting adalah kebangkitan Yesus
merupakan suatu kebenaran mutlak. Sebab, pemberitaan Firman dapat dikatakan
bahwa apa yang diberitakannya itu pasti dank arena itu, kita masih dapat
mengarahkan segala sesuatu-percaya, hidup, masa depan kita ke sana.[19]
BAB III
TANGGAPAN TEOLOGIS
Dari
hasil pembahasan yang telah penulis paparkan, penulis mengambil kesimpulan
bahwa Moltmann dan ajarannya lebih menekankan dasar pengharapan ada di masa
yang akan datang. Sedangkan Pannenberg menekankan pada peristiwa sejarah yang
ada.
Dari
kedua hal ini, penulis tidak setuju dengan kedua teolog yang ada, karena mereka
hanya menekankan salah satu saja untuk melihat pengharapan yang ada. Kelompok
penulis berpendapat dan sepakat bahwa pengharapan tidak hanya didasarkan pada
masa yang akan datang atau cerita masa lampau saja, tapi pengharapan yang
sesungguhnya ada pada masa lalu, sekarang, dan selamanya. Karena Yesus yang kita percaya adalah Alfa dan Omega,
Dialah yang Awal dan yang Akhir (Why 1:8). Dengan pemahaman inilah yang
membuktikan bahwa Allah itu kekal, Dia tidak terbatas ruang dan waktu. Dia
sudah ada, telah ada dan akan ada, maka oleh karena itu Ia bukan hanya
memlihara hidup di masa yang akan dating saja tetapi Dia secara utuh
mengendalikan hidup manusia.
Selain
itu, penulis melihat kesalahan yang dibuat oleh teolog saat itu, yaitu mereka
berpusatkan pada para filsafat dan bukan pada Alkitab itu sendiri. Hal ini
membuat penafsiran yang ada pun menjadi berbeda dan melenceng dari kebenaran
yang Alkitabiah. Padahal Firman Tuhan menyatakan jelas bahwa hanya Firman
Tuhanlah kebenaran sejati (Mazmur 119).
[2] Stevri I. Lumintang, Keunikan Theologia Kristen di Tengah
Kepalsuan, (Batu:Literatur YPPII,
2010), 8-26.
[5] Stanley N. Gundry and
Alan F. Johnson, Tension In Contemporary
Theology,
(Chicago:
Moody Press, 1979), 197.