Sunday, February 10, 2019

Teologi Kontemporer



BAB I

PENDAHULUAN


Berbicara tentang Teologi merupakan hal yang menarik sekaligus sulit, di samping karena perkembangannya yang sangat dinamis Teologia juga berhubungan dengan Allah yang tidak terbatas sedangkan manusia sangat terbatas. Namun, ada beberapa defenisi dari para ahli untuk menolong mengerti tentang Teologia.
            Secara etimilogi, istilah “Teologia” berasal bahasa Yunani yaitu: “Theos” (Allah) dan “Logos” (kata, pemikiran, uraian, ilmu).  Daniel Lucas Lukito menjelaskan Teologia sebagai pembicaraan secara rasional tentang Allah dan pekerjaanNya, hal ini merupakan hasil dari Alkitab sebagai titik tolak penemuan.[1]  Sedikit berbeda dengan Pdt. Stevri Lumintang yang menjelaskan istilah Teologia secara praktis dan juga teoritis. Pengertian secara praktis yaitu pengertian yang tidak hanya dalam batas pemahaman kognitif mengenai Allah melainkan juga penghayatan afektif dan pengalaman psikomotoris dari dan bersama Allah. Sedangkan pengertian teoritis  mengartikan Teologia adalah suatu aktivitas iman orang percaya mempelajari Alkitab dengan maksud untuk mengalami kemurahan Allah, yang memungkinkannya dapat mengenal pribadi dan karyaNya dalam hubungannya dengan semua ciptaannya, khususnya manusia, dengan harapan terjadi perjumpaan dan persekutuan denganNya yang menghasilkan perubahan world view dan kemajuan ke arah kedewasaan, sehingga dapat berespon secara bertanggungjawab terhadap panggilanNya, menjadi alat misiNya di dunia demi kehendakNya terlaksana bagi kemuliaanNya saja”.[2]
            Maka berdasarkan defenisi tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa Teologia erat dengan aktivitas dan usaha iman manusia. Berkaitan dengan hal ini maka tidak dapat dipungkiri Teologia akan dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran, aliran-aliran ataupun filsafat yang berkembang pada zamannya.
            Demikian pula dengan Teologia Kontemporer dipengaruhi oleh Filsafat yang berkembang pada zaman itu. Teologia Kontemporer memiliki ciri khas yaitu: menyelidiki segala yang dapat diselidiki hanya untuk suatu pengetahuan; semua Teologia Kontemporer adalah Teologia Historis-Kritis yang memandang Alkitab sebagai dokumen sejarah kuno yang harus dinilai dan dikritik; Teologia Kontemporer tidak berdasarkan Alkitab dan merupakan bidat.[3]  Teologia Kontemporer lahir di tengah pengaruh filsafat yang menganggap manusia sebagai ukuran atau kaidah segala sesuatu.[4] Salah satu yang termasuk dalam Teologia Kontemporer yang muncul pada sekitar abad Renaissance adalah Teologia Pengharapan (Theology of Hope) yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.


BAB II
ISI

            Pada bagian ini, penulis akan memaparkan tentang Teologia Pengharapan yang mencakup pengertian/defenisi, hakekat pengajarannya dan juga tanggapan kritis penulis tentang pandangannya yang akan disorot secara alkitabiah.

A.    Defenisi Teologia Pengharapan

Teologia Pengharapan adalah Teologi Pengharapan disebut juga sebagai teologi masa depan,[5] teologi yang membahas tentang masa yang akan datang. Paul Enns dalam bukunya menggolongkan Teologia Pengharapan sebagai Teologia sosialis dimana menekankan apa yang dipandang sebagai revolusionari aspek-aspek sosial dari iman Kristen.[6]
Teologia Pengharapan muncul di tengah panas-panasnya gerakan “Allah mati” pada tahun 1965 yang memberikan ketakutan akan munculnya atheisme Kristen. Di Jerman Jurgen Muoltman, seorang professor muda Teologia dari Universitas Tubinegn melahirkan buku “Theology of Hope” yang menjadi cikal bakal goncangan dunia akan Teologia pengharapan.[7] Pemikirannya dipengaruhi oleh filsuf Erns Bloch seorang pemikir marxistis Yahudi. [8]Teologi pengharapan juga sering disebut tentang Futurology karena lebih menekankan tentang masa yang akan datang daripada masa lampau atau masa kini.[9]  Masa lampau dan masa kini akan berarti jika ada masa depan, namun pada kenyataannya tidak karena orientasinya lebih ke masa depan. Dalam hal ini ada beberapa teolog lain dari Jerman yang membahas tentang masalah ini yaitu: Wolfhart Panenberg, dan Johannes Metz.



B.     Hakikat Pengajaran

Teologia Pengharapan memberikan penekanan tentang masa depan, masa depan yang dimaksud adalah lebih kepada eskatologi. Berikut penjelasan tentang hakikat pengajarannya, namun dalam menanggapi eskatologi tersebut ada beberapa pandangan yang berbeda yang bermunculan, tetapi penulis lebih menyoroti panndangan yang lebih dominan yaitu pandangan dan tanggapan dari Jurgen Moltman kemudian dibandingkan dengan pandangan Walfart Pannenberg yang merupakan teolog Jerman. Berikut pemaparannya!

1.      Jurgen Moltmann
Pemikiran- pemikiran Moltmann ini sedikit banyak dipengaruhi oleh seorang filsuf yang bernama Ernst Bloch. Hakekat atau pengajaran Teologi pengharapan adalah sebagai berikut:
a.       Allah
Bagi Moltmann, Allah yang berada di muka manusia, Allah dari Keluaran (=Exodus) yang membebaskan manusia dari kuasa-kuasa di dunia, Allah sejarah, Allah yang membangkitkan dari kematian, Allah Israel dan para nabi, Allah yang mengajar manusia untuk berharap.[10] Bukan hanya itu saja. Moltmann lebih menekankan immanensi Allah sehingga menganggap Allah sama saja dengan sejarah. Allah tetap Allah yang berada pada diriNya, Ia adalah Allah dan Tuhan sejarah, dan sebagai Allah dan Tuhan sejarah, dan sebagai Allah dan Tuhan sejarah Ia tidak sama dan tidak boleh disamakan dengan perubahan-perubahan yang berlangsung di antara bangsa-bangsa dan kebudayaan-kebudayaan.[11] Allah tunduk pada proses waktu, Allah tidak sepenuhnya Allah karena Allah bagian dari waktu yang sedang didorong maju ke masa yang akan datang. Dengan kata lain, Allah Alkitab yang hakiki adalah Allah yang menyatakan siapa Dia di masa yang akan datang. Allah hanya hadir dalam janjinya, Allah tidaklah absolut. Allah membuat janji-janji tentang masa yang akan datang dan Allah ditentukan oleh masa depan. Dia akan disebut sebagai Allah jika Dia menepati semua janji-janji-Nya.[12]
b.      Eskatologi
Menurut Moltmann, seluruh teologia Kekristenan harus dicetak dan dibentuk  oleh eskatologi, yaitu keterbukaan pada masa yang akan datang, kebebasan masa yang akan datang. Allah maupun manusia tidak dapat membatasi kedatangan masa depan ini.[13] Dengan kata lain, eskatologi merupakan karakteristik semua ikrar Kekristenan dari setiap eksistensi Kekristenan.[14]
c.       Kebangkitan Kristus
Bagi Moltmann, pertanyaan atau penyelidikan historitas kebangkitan tubuh Kristus tidaklah absah. Karena kebangkitan akhir merupakan dasar kebangkitan Yesus.[15] Kebangkitan Kristus merupakan janji dari Allah dalam Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama. Misteri tentang Yesus adalah kemudian tentang kebangkitan-Nya yang satu kekal, asli, benar, dan bersifat tetap sebagai pribadi Illahi. Keillahian Tuhan terlihat dari ketetapan-Nya, ketidak berubahan-Nya, ketidak mustahilan-Nya, kesatuan-Nya. Dan sejarah pekerjaan Allah dalam Kristus di kayu salib dan kebangkitan-Nya menjadi mungkin untuk menegaskan janji eskatologi-Nya untuk masa depan.[16] Singkatnya, Moltmann masih melihat Yesus sebagai Tuhan zaman Perjanjian Lama yang harus membuktikan pada kedatangan-Nya. Kubur kosong yang ada hanya untuk  memberikan pelajaran kepada kita supaya kita melihat ke depan.
d.      Peran Sosial
Peran sosial yang dimaksudkan adalah tugas gereja, yaitu mengkhotbahkan dengan cara menanamkan pikiran bahwa masa kini, masa yang akan datang menggenggam individual dan mengarahkannya ke dalam tindakan tertentu untuk membentuk masa yang akan datang. Bukan hanya itu saja, tapi juga berperan aktif serta dalam masyarakat untuk menghasilkan perubahan-perubahan, gereja-gerja suku, kelas sosial, status, dan nasional harus dihapuskan.[17]

2.      Walfart Pannenberg
Pannenberg juga sering disebut sebagai penganut Teologia Pengharapan dimana memanndang tetang masa depan, namun penekanan pemikirannya berbeda dengan Moltmann. Jika Moltmann lebih dikenal dengan Teolog Masa Depan (futurulogi), maka Pannenberg lebih dikenal sebagai Teolog Sejarah. Mengapa demikian? Untuk lebih dapat mengerti tentang Kristologi, Pannenberg, melihat sejarah sebagai kunci untuk wahyu Allah. Dengan kata lain, semua sejarah adalah wahyu Allah. Baginya, Kristologi adalah hasil sejarah dan bukan hasil dari penyelidikan sejarah. Wahyu yang dimaksudkan terlihat sebagai kedatangan bukan secara langsung dari Tuhan, tapi secara tidak langsung melalui sejarah.[18]
Menurut Pannenberg wahyu Allah tidak datang kepada manusia secara serta merta, tetapi selalu dengan tidak serta merta, yaitu melalui dengan kejadian-kejadian sejarah. Dan melalui sejarah wahyu mengambil tempat bukanlah suatu wahyu penyelamatan yang khusus yang hanya dikenal melalui iman. Pannenberg menolak untuk memisahkan antara sejarah penyelamatan dengan sejarah dunia, Pannenberg berpendapat tidak ada wahyu langsung wahyu khusus dari Allah, tetapi hanya ada wahyu tidak langsung melalui perbuatan-perbuatan historis, misalnya kebangkitan Yesus.
Bagi dia, kelahiran Yesus tidak penting, namun yang penting adalah kebangkitan Yesus merupakan suatu kebenaran mutlak. Sebab, pemberitaan Firman dapat dikatakan bahwa apa yang diberitakannya itu pasti dank arena itu, kita masih dapat mengarahkan segala sesuatu-percaya, hidup, masa depan kita ke sana.[19]




BAB III
TANGGAPAN TEOLOGIS

Dari hasil pembahasan yang telah penulis paparkan, penulis mengambil kesimpulan bahwa Moltmann dan ajarannya lebih menekankan dasar pengharapan ada di masa yang akan datang. Sedangkan Pannenberg menekankan pada peristiwa sejarah yang ada.
Dari kedua hal ini, penulis tidak setuju dengan kedua teolog yang ada, karena mereka hanya menekankan salah satu saja untuk melihat pengharapan yang ada. Kelompok penulis berpendapat dan sepakat bahwa pengharapan tidak hanya didasarkan pada masa yang akan datang atau cerita masa lampau saja, tapi pengharapan yang sesungguhnya ada pada masa lalu, sekarang, dan selamanya. Karena Yesus yang kita percaya adalah Alfa dan Omega, Dialah yang Awal dan yang Akhir (Why 1:8). Dengan pemahaman inilah yang membuktikan bahwa Allah itu kekal, Dia tidak terbatas ruang dan waktu. Dia sudah ada, telah ada dan akan ada, maka oleh karena itu Ia bukan hanya memlihara hidup di masa yang akan dating saja tetapi Dia secara utuh mengendalikan hidup manusia.
Selain itu, penulis melihat kesalahan yang dibuat oleh teolog saat itu, yaitu mereka berpusatkan pada para filsafat dan bukan pada Alkitab itu sendiri. Hal ini membuat penafsiran yang ada pun menjadi berbeda dan melenceng dari kebenaran yang Alkitabiah. Padahal Firman Tuhan menyatakan jelas bahwa hanya Firman Tuhanlah kebenaran sejati (Mazmur 119).

  



[1]  Daniel Lucas Lukito, Pengantar Teologia Kristen, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), 12.
[2] Stevri I. Lumintang, Keunikan Theologia Kristen di Tengah Kepalsuan, (Batu:Literatur YPPII, 2010), 8-26.
[3] Eta Linnemann, Teologia Kontemporer, (Batu: Literatur YPPII, 2011), xiii-xv
[4] Paul Enns, The Moody Hand Book of Theology, (Malang: SAAT, 2010), 189
[5] Stanley N. Gundry and Alan F. Johnson, Tension In Contemporary Theology, (Chicago: Moody Press, 1979), 197.
[6] Paul Enns, The Moody Hand Book of Theology,… 251
[7] Harvie, Teologia Semesta Kontemporer , (Malang: SAAT, 1985), 77
[8] Abineno, Pengharapam Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 33
[9]  ibid
[10] J.L. Ch. Abineno, Pengharapan Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 36.
[11] Ibid, 40.
[12] Harvie, Teologia Semesta Kontemporer , …, 78-79.
[13] Ibid, 79.
[14] Jurgen Moltmann, Theology of Hope, (London: Harper & Row Publishers, 1967), 16.
[15] Harvie, Teologia Semesta Kontemporer , …, 79.
[16] Jurgen Moltmann, Theology of Hope, …, 140.
[17] Paul Enns, The Moody Hand Book of Theology,…, 252.
[18] Stanley N. Gundry and Alan F. Johnson, Tension In Contemporary Theology,…, 219.
[19] J.L. Ch. Abineno, Pengharapan Kristen, …, 32.

 
STT SABDA AGUNG © 2011 DheTemplate.com. Supported by PsPrint Emeryville and Christian Jaya, homeinbayarea.com